Komunikasi Internal Ungkap Petinggi Facebook Bungkam Gerilyawan Kurdi yang Lawan Turki
Cyberthreat.id - Serangkaian diskusi via email yang melibatkan petinggi Facebook menunjukkan bagaimana raksasa media sosial itu tunduk pada keinginan pemerintah Turki untuk memblokir halaman milik gerilyawan Unit Perlindungan Rakyat Kurdi atau YPG. Itu terjadi ketika Turki melancarkan serangan militer terhadap minoritas Kurdi di negara tetangga Suriah pada awal 2018.
Dikutip dari laporan ProPublica yang diterbitkan pada Rabu (24 Februari 2021), saat itu pemerintah Turki menuntut Facebook memblokir postingan milik gerilyawan Kurdi yang menjadi target pemerintah Turki. Jika permintaan itu dituruti, artinya Facebook membungkam suara kelompok yang berseberangan dengan pemerintah. Jika ditolak, Facebook terancam diblokir di negara dengan 82 juta penduduk itu (data 2019).
Musyawarah via email para petinggi Facebook yang diperoleh ProPublica akhirnya menunjukkan mereka memilih menuruti keinginan pemerintah.
"Saya setuju dengan ini," tulis Sheryl Sandberg, eksekutif nomor 2 di Facebook, dalam pesan satu kalimat kepada tim yang meninjau halaman tersebut. Tiga tahun kemudian, foto dan pembaruan YPG tentang serangan brutal militer Turki terhadap minoritas Kurdi di Suriah masih tidak dapat dilihat oleh pengguna Facebook di Turki.
Respon Sheryl Sandberg menyikapi permintaan pemblokiran konten dari laman YPG | Pro Publica
Dalam beberapa kesempatan, Facebook mengumumkan kepada publik bahwa mereka menghargai kebebasan berbicara.
"Kami percaya kebebasan berekspresi adalah hak asasi manusia yang fundamental, dan kami bekerja keras untuk melindungi dan mempertahankan nilai-nilai ini di seluruh dunia," tulis perusahaan tersebut dalam sebuah posting blog bulan lalu merespon undang-undang baru Turki yang mengatur media sosial.
Hukum Turki mewajibkan perusahaan media sosial membuka perwakilan di sana, dan menyimpan data warga Turki di wilayahnya.
“Lebih dari separuh orang di Turki mengandalkan Facebook untuk tetap berhubungan dengan teman dan keluarga, untuk mengungkapkan pendapat dan mengembangkan bisnis,” tulis Facebook.
Pernyataan itu bertentangan dengan apa yang terjadi dibalik layar. Email yang terungkap itu menunjukkan, Facebook akhirnya memilih untuk tetap bisa beroperasi di Turki, bukan pada hak asasi manusia.
“Halaman tersebut menyebabkan kita mengalami beberapa kebakaran PR di masa lalu,” seorang manajer Facebook memperingatkan tentang materi YPG.
Saat itu, konten yang diprotes terkait penaklukan kota Afrin oleh militer Turki. Kota di Suriah itu sebelumnya dikuasai pemberontak Kurdi. Peringatan datang dari Ketua Otoritas Teknologi Informasi dan Komunikasi (BTK) sebagai regulator telekomunikasi Turki. Dia mengingatkan Facebook "untuk berhati-hati tentang materi yang diposting, terutama foto orang yang terluka," tulis Mark Smith, manajer kebijakan yang berbasis di Inggris, kepada Joel Kaplan, wakil presiden kebijakan publik global Facebook.
“Dia juga menyoroti bahwa pemerintah mungkin meminta kita untuk memblokir seluruh halaman dan profil jika mereka menjadi titik fokus untuk berbagi konten ilegal.” (Turki menganggap YPG sebagai organisasi teroris, meskipun baik AS maupun Facebook tidak melakukannya.)
Warna oranye adalah kawasan yang dihuni bangsa Kurdi | Grafis: BBC
Tentang Gerilyawan Kurdi
Untuk memahami konteksnya, mari sekilas melihat siapa orang Kurdi dan mengapa mereka mengangkat senjata. Laporan BBC menyebutkan, Bangsa Kurdi menghuni wilayah dataran tinggi di Turki bagian tenggara, Suriah barat laut, Irak utara, Iran barat laut dan barat daya Armenia.
Pada awal abad ke-20, orang Kurdi ingin membentuk negara sendiri yang disebut Kurdistan. Namun, Perjanjian Lausanne yang menetapkan perbatasan Turki moden setelah runtuhnya kekhalifan Turki Usmani, membuat rencana itu dibatalkan. Walhasil, suku Kurdi terpecah sebagai minoritas di sejumlah negara baru yang dibentuk setelah Perang Dunia Pertama.
Menjadi bagian dari Turki, Suriah, dan lainnya, rupanya tak membuat orang Kurdi bahagia. Mereka yang menjadi bagian dari 15-20 persen populasi Turki, merasa didiskriminasi. Nama dan pakaian etnik Kurdi dilarang. Penggunaan bahasa Kurdi juga dibatasi. Mereka bahkan diolok-olok sebagai "orang Turki Pegunungan."
Pada 1978, seorang tokoh Kurdi bernama Abdullah Ocalan mendirikan PKK, menyerukan negara Kurdi merdeka di Turki. Enam tahun berselang, pada 1984, PKK memulai perlawanan bersenjata. Sejak itu, lebih dari 40 ribu orang tewas dari terusir dari tempat tinggalnya.
Di Suriah, etnis Kurdi berjumlah sekitar 7-10 persen dari total penduduknya. Mereka tinggal di Damaskus dan Aleppo serta tiga wilayah yang berdekatan, termasuk Kota Afrin yang diserang Turki pada 2018. Pemerintah Turki menyebut YPG adalah perpanjangan tangan PKK dan menganggap mereka organisasi terorir yang harus dimusnahkan.
Menurut laporan BBC, mereka telah lama ditekan dan tak diberi hak-hak sipil. Sekitar 300 ribu orang tak diakui kewarnegaraan sejak 1960-an. Tanah-tanah mereka dirampas dan diberikan kepada orang Arab dalam upaya "meng-Arab-kan" wilayah Kurdi.
Baik di Turki maupun di Suriah, bangsa Kurdi pernah mencoba bernegosiasi dengan menurunkan tuntutannya dari mendirikan negara merdeka menjadi wilayah otonomi khusus. Pernah terjadi kesepakatan, namun kemudian dibatalkan. Dengan latar belakang seperti itulah orang Kurdi memutuskan mengangkat senjata.
Solusi Blokir Geografis
Kembali ke Facebook. Menghadapi tekanan dari pemerintah Turki, Facebook akhirnya menerapkan "blokir geografis", membatasi suatu konten muncul di suatu wilayah. Facebook sebelumnya menghindari praktik tersebut, meskipun telah menjadi semakin populer di kalangan pemerintah yang ingin menyembunyikan sebuah postingan agar tidak terlihat di wilayah mereka.
Sheryl Sandberg bersama Mark Zuckerberg | Foto: EPA via Dailymail.co.uk
Facebook mengonfirmasi kepada ProPublica bahwa mereka membuat keputusan untuk membatasi halaman di Turki mengikuti perintah hukum dari pemerintah Turki. Apalagi, ada ancaman Turki akan menutup akses terhadap Facebook jika permintaan ditolak. Facebook mengatakan telah diblokir sebelumnya di Turki, termasuk tiga kali pada tahun 2016.
Konten yang dianggap Turki menyinggung, menurut email internal, termasuk foto di Instagram milik Facebook tentang "pejuang YPG yang terluka, tentara Turki, dan mungkin warga sipil".
Saat itu, YPG mengecam apa yang dipahami sebagai sensor Facebook atas materi semacam itu. “Membungkam suara demokrasi: Sehubungan dengan invasi Afrin, YPG mengalami serangan dunia maya yang parah.”
Kelompok tersebut telah menerbitkan gambar grafis, termasuk foto para pejuang yang terluka parah; "Ini adalah cara sekutu NATO Turki mengamankan perbatasannya," tulis YPG dalam satu posting.
Juru bicara Facebook Andy Stone memberikan pernyataan tertulis menanggapi pertanyaan dari ProPublica.
“Kami berusaha keras untuk mempertahankan suara bagi sebagian besar orang,” kata pernyataan itu. “Namun, ada kalanya kami membatasi konten berdasarkan undang-undang setempat meskipun tidak melanggar standar komunitas kami. Dalam kasus ini, kami membuat keputusan berdasarkan kebijakan kami terkait permintaan pemerintah untuk membatasi konten dan komitmen hak asasi manusia internasional kami. Kami mengungkapkan konten yang kami batasi dalam laporan transparansi dua kali setahun dan dievaluasi oleh pakar independen terkait komitmen hak asasi manusia internasional kami setiap dua tahun. ”
Kedutaan Besar Turki di Washington mengatakan pihaknya berpendapat YPG adalah "cabang Suriah" dari Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang dianggap oleh pemerintah AS sebagai organisasi teroris.
Facebook telah menganggap halaman YPG sensitif secara politis setidaknya sejak 2015, ketika para pejabat menemukan halaman itu secara tidak akurat ditandai sebagai terverifikasi dengan tanda centang biru. Pada gilirannya, "itu menciptakan liputan negatif pada media pro-pemerintah Turki," tulis seorang eksekutif. Saat Facebook menghapus tanda centang tersebut, pada gilirannya “menciptakan pemberitaan negatif [di] media berbahasa Inggris termasuk di Huffington Post.”
Pada 2018, tim peninjau, termasuk kepala kebijakan global Monika Bickert, memaparkan konsekuensi pelarangan. Perusahaan dapat menjadi contoh yang buruk untuk kasus-kasus di masa depan dan menerima kritik atas keputusannya. "Pemblokiran geografis YPG bukan tanpa risiko - aktivis di luar Turki kemungkinan akan melihat tindakan kita, dan keputusan kita mungkin menarik perhatian yang tidak diinginkan ke kebijakan pemblokiran geografis kita secara keseluruhan," kata salah satu email pada akhir Januari 2018.
Sumber: Pro Publica
Namun kali ini, kata anggota tim, pihak-pihak tersebut terlibat dalam konflik bersenjata dan pejabat Facebook khawatir platform mereka dapat ditutup sepenuhnya di Turki.
"Kami mendukung pemblokiran geografis konten YPG," tulis mereka, dan menyiapkan pernyataan pers yang "reaktif": "Kami menerima perintah pengadilan yang valid dari pihak berwenang di Turki yang meminta kami untuk membatasi akses ke konten tertentu. Setelah meninjau dengan cermat, kami telah mematuhi perintah tersebut, ”katanya.
Dalam putusan sembilan halaman oleh Criminal Peace Judgeships, pejabat pemerintah mencantumkan halaman Facebook YPG di antara beberapa ratus URL media sosial yang mereka anggap bermasalah. Pengadilan menulis bahwa situs-situs itu harus diblokir untuk "melindungi hak atas kehidupan atau keamanan hidup dan properti, memastikan keamanan nasional, melindungi ketertiban umum, mencegah kejahatan, atau melindungi kesehatan masyarakat."
Pada 26 Januari 2018, Kaplan mengirim email kepada Sandberg dan CEO Facebook Mark Zuckerberg, mengonfirmasi bahwa perusahaan telah menerima perintah pemerintah Turki yang menuntut agar halaman tersebut disensor, meskipun tidak jelas apakah para pejabat Turki merujuk ke keputusan pengadilan. Kaplan menyarankan perusahaan untuk "segera memblokir geografis" halaman YPG jika Turki mengancam memblokir semua akses ke Facebook.
Sumber: Pro Publica
Dalam email balasannya, Sandberg menyatakan setuju dengan pendapat Kaplan.
Dalam sebuah pernyataan kepada Pro Publica, YPG mengatakan penyensoran oleh Facebook dan platform media sosial lainnya "berada pada tingkat yang ekstrim."
“YPG secara aktif menggunakan platform media sosial seperti Facebook, Twitter, YouTube, Instagram, dan lainnya sejak didirikan,” kata grup tersebut.
“YPG menggunakan media sosial untuk mempromosikan perjuangannya melawan para jihadis dan ekstremis lainnya yang menyerang dan menyerang Kurdistan Suriah dan Suriah utara. Platform tersebut memiliki peran penting dalam membangun kehadiran publik dan dengan mudah menjangkau komunitas di seluruh dunia. Namun, kami telah menghadapi banyak tantangan di media sosial selama beberapa tahun ini. ”
Yaman Akdeniz, pendiri Asosiasi Kebebasan Berekspresi Turki, mengatakan pemblokiran YPG “bukan kasus yang mudah karena Turki melihat YPG sebagai organisasi teror dan ingin akun mereka diblokir dari Turki. Tapi itu hanya menegaskan bahwa Facebook tidak ingin menantang permintaan ini, dan siap untuk bertindak. ”
“Facebook memiliki masalah transparansi,” katanya.
Faktanya, Facebook tidak mengungkapkan kepada pengguna bahwa halaman YPG secara eksplisit dilarang. Ketika ProPublica mencoba mengakses halaman Facebook YPG menggunakan VPN Turki - untuk mensimulasikan penjelajahan internet dari dalam negara - pemberitahuan berbunyi: "Tautan mungkin rusak, atau halaman mungkin telah dihapus." Halaman tersebut masih tersedia di Facebook bagi orang-orang yang melihat situs tersebut melalui penyedia internet AS.
Saat Cyberthreat.id mengaksesnya, laman itu masih tersedia untuk pemirsa di Indonesia.
Pada paruh pertama 2018, Facebook melaporkan menerima sekitar 15.300 permintaan dari seluruh dunia untuk pembatasan konten. Sekitar 1.600 berasal dari Turki. Dalam sebuah posting singkat, Facebook mengatakan membatasi akses ke 1.106 item sebagai tanggapan atas permintaan dari regulator telekomunikasi Turki, pengadilan dan lembaga lainnya, “yang mencakup berbagai pelanggaran termasuk pelanggaran hak pribadi, privasi pribadi, pencemaran nama baik [presiden Turki pertama Mustafa Kemal] Ataturk, dan undang-undang tentang penjualan barang yang diatur secara tidak sah. "
Katitza Rodriguez, direktur kebijakan privasi global di Electronic Frontier Foundation, mengatakan pemerintah Turki juga berhasil memaksa Facebook dan platform lain untuk menunjuk perwakilan hukum di negara itu. Jika perusahaan teknologi tidak mematuhinya, katanya, pembayar pajak Turki akan dilarang memasang iklan dan membayar ke Facebook. Karena Facebook adalah anggota dari Global Network Initiative, kata Rodriguez, mereka telah berjanji untuk menegakkan prinsip-prinsip hak asasi manusia grup tersebut.
“Perusahaan punya kewajiban berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional untuk menghormati hak asasi manusia,” katanya.[]