Jokowi dan Mimpi Internet Indonesia
PRESIDEN Joko Widodo adalah “presiden internet”. Ini bukan sama halnya dengan sebutan “bapak internet”, bukan. Ini hanya istilah saya untuk menyebut bahwa “dialah presiden dalam sejarah kita yang paling ramai di dunia maya”.
Dalam KBBI, kata “ramai” memiliki arti, di antaranya riuh rendah, meriah, dan serba giat/sibuk. Ya, seperti slogan Jokowi selama ini “kerja, kerja, kerja”—baca: sibuk--pemberitaan tentang dirinya juga serba riuh rendah. Belum lagi dengan para pendukungnya yang setiap hari “memeriahkan” dunia maya dari tagar ke tagar, dari komen ke komen, dari konten ke konten. Itu belum ditambah dari pemberitaan dari humas ke humas kementerian/lembaga.
Media konvensional—televisi, radio, atau koran—adalah eranya presiden-presiden yang lalu. Jokowi adalah presiden 4.0. Memanfaatkan betul teknologi informasi untuk mengerek citra politiknya hingga mempopulerkan program-programnya.
Dua periode sebagai orang nomor satu di negeri ini, Jokowi sangat “berkuasa bin masyhur” di dunia maya. Tanpa dukungan relawan siber, saya pikir sulit rasanya Jokowi memperoleh hasil yang indah saat ini.
Yang saya tuliskan itu juga tak mengada-ada, setidaknya perusahaan mesin pencari China, Baidu, pada kuartal kedua 2015 menggambarkan Jokowi sebagai tokoh paling populer di dunia maya.
Internet dimaknai sebagai medium yang memberikan kebebasan—orang bisa menjadi apa saja dan berkomentar apa pun. Sulitnya mengatur negeri maya itu. Namun, kita punya UU ITE. Undang-undang ini awalnya diharapkan menindak kejahatan siber, tapi pada akhirnya selama dua periode Jokowi, cenderung dipakai untuk menjerat orang-orang yang dituding “mencemarkan nama baik”, “ujaran kebencian”, “fitnah”, dan lain-lain hanya karena status di media sosial. Dan, dari kebanyakan status itu, tak jauh-jauh berisi politik negeri ini—jika tak menyingung Jokowi sendiri, ya menyoroti program-programnya.
Lahir dan naik daun di hingar bingar dunia maya, Jokowi juga mau tak mau siap menerima segala kritikan pedas dari warganet, meski pada akhirnya “alat kekuasaan pun harus berbicara” untuk menindak segala komentar yang dianggap “kebablasan”. Ironis memang. Tapi, kenyataan seperti itu.
Berapa kasus yang terjerat UU ITE sejak regulasi itu diundangkan pada 2008? Ratusan kasus. Tapi, bisa Anda cek, sejak Jokowi menjadi presiden pada 2014, justru jumlah kasus yang dijerat UU ITE tiap tahun meningkat—lihat SAFEnet. Sepanjang 2020, misal, menurut SAFEnet, ada 84 kasus pemidanaan warga menggunakan UU ITE, naik empat kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya 24 kasus. Saya harap tahun ini tidak meningkat. Dari jumlah itu, 64 kasus dijerat dengan “pasal karet” yaitu Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian dan Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik.
Kritik keras terhadap UU ITE pun mendorong Jokowi meminta agar jajarannya merevisi. Dan, Tim Kajian UU ITE Kemenkopolhukam berencana mengajukan revisi Pasal 27 ayat 1.
Berkali-kali, Jokowi berkomentar terkait fenomena di internet, khususnya media sosial, yang dianggapnya sebagai medium untuk menyebarkan fitnah dan konten hoaks. Pada saat peluncuran Palapa Ring, jaringan tulang punggung internet di Indonesia, pada Agustus 2019, Jokowi menegaskan lagi bahwa kecepatan internet yang telah disediakan pemerintah saat ini agar tidak disalagunakan. “Untuk fitnah, hoaks, fake news, ini yang harus dicegah. Termasuk, kejahatan siber dan lainnya,” kata dia.
Sumber infografis: SAFEnet
Ia mendorong Palapa Ring sebagai “tol langit” untuk kemajuan ekonomi bangsa, sosial budaya, dan lainnya. “Kewajiban kita bersama untuk terus meminimalkan konten negatif dengan membanjiri ruang digital dengan konten-konten positif,” kata dia di acara “Indonesia Makin Cakap Digital”, pada bulan lalu.
Ya, butuh kerja keras memang untuk mewujudkan mimpi media sosial berjalan sesuai rel yang diinginkan tersebut. Tak cukup hanya dengan sosialisasi literasi digital yang kini digalakkan pemerintah Jokowi melalui Gerakan Nasional Literasi Digital.
Memproduksi konten positif itu mudah, tapi membatasi orang untuk tidak berkomentar itu sulit, kecuali kita menjadi negara otoriter. Sebab, pada dasarnya, dunia maya itu tak lain hanya perpanjangan tangan kehidupan dunia nyata. Bukan sesuatu yang baru. Hanya medium yang diduniakan menjadi ada. Jika kita semua tak mengisinya, dunia itu juga tidak akan ada.
Tentu butuh sebuah regulasi yang tepat agar internet tidak sembarangan dipakai. Regulasi yang benar-benar tidak karet dan adil. Adil bagi seluruh bangsa, jangan hanya melindungi penyelenggara sistem elektronik atau platform-platform unicorn atau decacorn.
Memang, media sosial juga bisa dianggap sebagai kebebasan berekspresi, tapi perlu juga sebuah norma-norma. Sebab, kebebasan bukannya tanpa batas. Di internet, kebebasan punya batasannya, yaitu etika.
Di sinilah, perlu pemahaman bersama menyebarkan secara luas tentang etika berdigital, bermedia sosial, sehingga etiket kita selama berkomunikasi sesuai dengan moral bangsa ini—yang dikenal sedunia sebagai negeri Timur dengan nilai-nilai sopan santunnya, meski tahun lalu Microsoft menyebutkan bahwa warganet negeri ini berada di urutan terbawah se-Asia Tenggara dalam tingkat kesopanan di ruang maya.
Mimpi media sosial tak lepas dari fitnah,hoaks, dan lain-lain mustahil. Seperti yang saya sebut tadi, dunia baru ini hanyalah perpanjangan tangan. Apa yang ada di dunia nyata, cenderung pasti ada di dunia maya. Karena begitulah manusia. Jika kita menginginkan semua bersih, semua positif, itu sama saja kita menegakkan benang basah. Yang kita perlu lakukan sejak saat ini ialah memberi teladan. Teladan dari para pemimpin pusat hingga daerah, para pejabat, jajaran pemerintahan, tokoh-tokoh publik, tokoh agama, selebritas media sosial, dan lain-lain. Teladan ini tentu dalam ujaran hingga tindakan.
Kecakapan warganet dalam berinternet saat ini yang dianggap buruk, bukan salah siapa-siapa, karena begitulah kehidupan nyata kita mendorong itu semua menjadi ada. Maka, tugas kita bersama, memperbaiki ini semua dari sekarang.
Presiden Jokowi sebagai “presiden internet” sejatinya bisa mendorong itu semua. Semoga relawan sibernya tak melulu membuat “kesibukan” baru untuk tahun-tahun mendatang dengan perang tagar atau komentar. Berhentilah merecoki dunia maya. Jika itu masih terjadi, sama saja mereka memupus mimpi Jokowi tentang masa depan ruang maya kita. Selama ulang tahun, Pak Presiden![]
Penulis adalah wartawan Cyberhreat.id. Artikel di atas adalah pendapat pribadi penulis.