Urus KTP-El Online: No Calo, No Pungli, No Ribet

Ilustrasi | Foto: surabaya.net

PANDEMI memaksa kita untuk mengubah gaya hidup. Semua yang semula dilakukan secara interaktif, tatap muka, langsung, dan harus di lokasi. Kini tidak. Cukup dari rumah. Dibatasi layar kaca atau gawai.

Begitu juga dengan layanan administrasi kependudukan. Mulai dari pengurusan surat pindah, pencatatan akta kelahiran, pencetakan KTP elektronik (KTP-el), dan beberapa layanan pendudukan lainnya. 

Saya ingin berbagi pengalaman soal pengurusan KTP-el. Kebetulan kondisi fisik KTP sudah buram. Tidak terbaca lagi Nomor Induk Kependudukan (NIK), nama, alamat dan tanggal lahir. Akibatnya ketika ada urusan yang harus melampirkan fotokopi atau foto KTP-el. 

Beberapa bulan lalu penulis sempat mendapat kirim video yang menampilkan Dirjen Dukcapil Kemendagri Zudan Arif Fakhrullah tentang pengurusan administrasi kependudukan. Namun, semua kebijakan itu harus dilaksanakan secara teknis di tingkat pemerintah daerah. 

Saya sempat pesimistis dalam pengurusan KTP. Sebab, selama ini banyak sekali berita di media mengatakan bahwa blanko KTP sering kosong. Pengurusan KTP memakan waktu hingga berbulan-bulan. Belum pengakuan dari saudara, tetangga, dan rekan-rekan yang pernah melakukan pengurusan KTP. Mereka mengaku mengurus KTP berbulan-bulan. 

Informasi itu membuat penulis semakin gamang, khawatir untuk mengurus KTP. Belum lagi informasi tentang perilaku oknum birokrasi yang meminta pungutan liar (pungli) dengan kemasan uang rokok, pengganti bensin, atau tanda terima kasih. 

Pada Agustus 2015 saya mengurus perpindahan penduduk dari Kecamatan Larangan, Kota Tangerang ke Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor. Kala itu saya mengurus KTP mengikuti prosedur. Mulai dari meminta pengantar dari RT, lanjut ke desa, hingga di kecamatan. Dari kantor kecamatan berlanjut ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Pengurusan itu memakan waktu hampir satu bulan. 

Persoalan muncul ketika saya dikabari oknum petugas di kantor Kecamatan Parung Panjang bahwa KTP saya sudah jadi. Esok hari ketika saya menjemput KTP, sang petugas di loket penyerahan KTP berkata dengan ringan, "Sekalian ya Rp 35 ribu untuk biaya pengganti bensin pengambilan KTP dari Cibinong ke Parung Panjang." 

Ketika itu saya mengurus dua KTP. Punya saya dan istri. Alhasil saya harus merogoh kocek untuk ambil uang sejumlah Rp 70 ribu. Uang  itu saya keluarkan tidak ikhlas. Sebab, saya berpikir karena petugas di kantor kecamatan adalah aparatur sipil negara yang digaji pemerintah dari APBN atau APBD. Mereka bergaji tiap bulan. Angkanya relatif lebih dari cukup dibandingkan warga yang bekerja di bidang swasta. 

Ketika itu saya tidak mau berdebat. Saya merasa orang baru di wilayah itu dan berpikir bahwa uang Rp 35 ribu adalah "adat" di Kecamatan Parung Panjang. Biarlah uang Rp 70 ribu saya keluarkan daripada saya repot di kemudian hari. 

Berawal dari Medsos

Selama ini saya memanfaatkan jejaring di media sosial untuk mendapatkan informasi-informasi menarik. Caranya dengan mem-follow akun-akun resmi dari pejabat negara, pejabat daerah, dan akun resmi lainnya untuk mendapatkan informasi penting yang dibutuhkan. 

Dari sekian akun yang saya ikuti akun Bupati Bogor Ade Yasin dan akun kantor Dinas Kependudukan Catatan Sipil Kabupaten Bogor. Dua pekan lalu, saya melihat di lini masa dua akun tersebut menginformasikan tentang perubahan sistem pelayanan kependudukan, dari konvensional alias datang langsung ke kantor pemerintahan secara berjenjang, kini potong kompas. Cukup lewat tautan URL yang disediakan oleh Dinas Kependudukan Catatan Sipil. 

Dari sekian banyak layanan, terdapat layanan cetak untuk KTP rusak. Dinas Kependudukan Catatan Sipil menampilkan layanan di laman situs web instansi tersebut. Saya mencoba menggunakan fasilitas tersebut. Mulai dari membuat akun dengan mendaftarkan email pribadi sampai pada langkah-langkah selanjutnya. 

Lantas, saya mengikuti langkah di laman tersebut. Mulai menginput nomor kartu keluarga, Nomor Induk Kependudukan, nama, jenis layanan yang dibutuhkan. Terdapat juga salah satu kolom layanan itu untuk memotret kondisi KTP yang mau dicetak. 

Semula upaya ini hanya bersifat “coba-coba berhadiah”. Kalau bisa alhamdulillah, jika tidak maka cari waktu yang tepat untuk mengurus semua keperluan itu secara konvensional. Pekan lalu, saya melakukan langkah pengajuan cetak KTP. Tibat-tiba, belum ada tujuh hari, pada Senin (9 Agustus 2021), pagi datang petugas pos ke rumah. Petugas itu membawa paket dokumen atas nama saya. Dokumen itu bergambarkan foto bupati dan wakil bupati bogor. Dari situ saya yakin kiriman paket adalah KTP saya. Ternyata benar, KTP baru. 

Kini saya punya dua KTP. Satu baru dan terbaca, satu lagi tidak terbaca. KTP lama saya simpan sebagai arsip dan kenang-kenangan. 

Dari tulisan ini saya berpesan kepada masyarakat bahwa semua urusan dilakukan secara online. Semua berangkat dari email. Gunakanlah email sebagai alat awal untuk melangkah selanjutnya. Bila gagap, bisa bertanya kepada rekan-rekan sendiri, tetangga, atau saudara.

Yang lebih penting lagi, alokasikan sedikit waktu untuk urusan kependudukan dari balik gawai masing-masing. Tidak perlu lama. Cukup 10 menit. Setelah itu urusan beres. Tidak bertemu calo, tidak berhadapan potensi pungli, dan keribetan mekanisme. Semua diurus serbaonline: no calo, no pungli, no ribet.[]

*Penulis adalah jurnalis yang tinggal di Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.