Virtual Jurisdiction, Data Pribadi dan Ekonomi Digital

Ilustrasi | The Hacker News

PERTEMUAN G-20, Desember 2018 di Argentina  bertemakan “Building Consensus for Fair and Sustainable Development”  menghasilkan kesepakatan bersama dalam pemberdayaan digital ekonomi. Pengembangan ekonomi digital sebagai model bisnis yang inovatif untuk pemerataan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan perluasan inklusif keuangan.

Ekonomi digital dinilai menjadi penopang perekonomian Indonesia selama masa pandemi Covid-19, yang secara umum ekonomi digital Indonesia terdiri dari e-commerceon demand servicedigital wellness servicefintechdan internet of things (IOT).

Di sela pertemuan Tingkat Menteri G20 Bidang Digital, bersama Sekretaris Negara untuk Inovasi Publik Argentina, Micaela Sánchez Malcolm,  Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate menekankan pentingnya pembangunan infrastruktur digital sebagai prasyarat transformasi digital yang inklusif dengan Prioritas Presidensi 2022, antara lain: 1. pemulihan pasca COVID-19 dan konektivitas; 2. Literasi dan keterampilan digital; dan 3. Arus data lintas negara, termasuk pemanfaatan  teknologi digital sebagai solusi berbagai permasalahan, termasuk dalam hal penanganan pandemi Covid-19 dan pemberdayaan UMKM untuk mengakses pasar digital.

Lantas apakah digitalisasi sebagai karakteristik dari revolusi Industri 4.0 tidak melahirkan kerentanan dari segi data pribadi maupun persoalan yurisdiksi apabila terjadi online dispute dalam lapangan ekonomi digital?

Perkembangan teknologi informasi  (TI) kian pesat jauh dari yang dibayangkan pada masa awal kehadirannya. Era globalisasi telah menempatkan peranan teknologi informasi ke dalam suatu posisi strategis karena dapat menghadirkan suatu dunia tanpa batas, jarak, ruang, dan waktu serta dapat meningkatkan produktivitas serta efisiensi.

Dian Ekawati, dalam tulisannya yang berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank yang Dirugikan Akibat Kejahatan Skimming Ditinjau dari Perspektif Teknologi Informasi Dan Perbankan dalam Jurnal Unes Law Review, Vol. 1, No. 2, Hal. 158, menyebutkan perkembangan teknologi yang demikian cepat, mengubah pola pemikiran mengenai batas wilayah, waktu, nilai-nilai, wujud benda, logika berfikir, pola kerja, dan batas perilaku sosial dari yang bersifat manual menjadi komputerisasi/digital.

Revolusi Industri 4.0, sebagaimana telah diingatkan oleh Klaus Schwab dalam “The Fourth Industrial Revolution”  bahwa organisasi bisnis mungkin tidak dapat berdaptasi, pemerintah dapat gagal menggunakan dan mengatur teknologi baru untuk menangkap manfaatnya; pergeseran kekuasaan akan menciptakan masalah keamanan baru.

Disisi lain, terjadi pergeseran dalam jual-beli konvensional beralih kepada jual beli online atau bahkan bisnis berbasis digital. Yurisdiksi tidak lagi berdasarkan esensi Trias Politica versi Indonesia, namun konsekuensi platform internet yang memiliki konektivitas menjadikan yurisdiksi bersifat borderless, ketiadaan batas wilayah kedaulatan menjadi tidak sederhananya menerapkan hukum berwujud legislasi dan regulasi.

Menurut M. Anang Firmansyah, dalam bukunya Pengantar E-Markerting, menyebutkan pengaruh TI juga tampak dalam moderasi jual-beli konvensional beralih kepada jual beli online, transaksi perdagangan online di Indonesia memiliki masa depan yang cerah pasalnya nilai transaksinya meningkat selama 5 tahun terakhir.

Lalu tempat jual-beli online atau yang biasa disebut sebagai marketplace merupakan perantara antara penjual dan pembeli di dunia maya. Situs marketplace bertindak sebagai pihak ketiga dalam transaksi online dengan menyediakan tempat berjualan dan fasilitas berjualan.

Data tentang perdagangan elektronik (e-commerce) terkait pembelian ataupun penjualan produk via e-commerce di Indonesia, menurut data Google pada tahun 2020 mencapai US$ 10,9 miliar atau sekitar Rp 146,7 triliun,  meroket 41 persen dari angka US$ 5,5 miliar atau sekitar Rp 74 triliun pada 2015.

Digital ekonomi berkarakter masif dan eskalatif, karena fleksibilitas terhadap aksesi internet. Rezim digital ekonomi memerlukan equilibrium akan pemenuhan hak dan kewajiban para pelaku pasar, konsumen dan masyarakat luas melalui pendekatan legislasi, regulasi, dan swa-regulasi.

Pendekatan ini dilakukan sebagai antisipasi terhadap fenomena konvergensi teknologi informasi, merupakan alternatif solusi rezim ekonomi digital yang kadang abai terhadap perlindungan data pribadi ditengah derasnya aktifitas bisnis berbasis digital.

Dalam e-commerce bentuk kontraknya tertuang dalam kondisi-kondisi hukum yang berlaku mutatis mutandis. Kontrak dalam perdagangan elektronik berbentuk elektronik atau digital sehingga kesepakatan tercipta melalui online. E-commerce mengharuskan para penggunanya untuk memasukan data pribadi seperti nama, umur, tanggal lahir, alamat email dan alamat rumah. Data pribadi tersebut digunakan untuk mempermudah dalam bertransaksi online dan juga menghindari penipuan yang dilakukan oleh orang tersebut.

Persoalan penyalahgunaan data pribadi dewasa ini kian marak seriring dengan massif nya dampak negatif digitaliasi ekonomi. Instrument hukum khusus mengatur mengenai perlindungan data pribadi di Indonesia dan bagaimana mekanisme penyelesaian secara virtual jurisdiction, belum secara efektif mengatur mengenai perlindungan data pribadi.

Meskipun prihal tersebut sudah tertuang di dalam  Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik  (UU ITE) dan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), potensi kejahatan penyalahgunaan data pribadi yang dapat dijerat secara hukum dan telah membuat batas privasi makin tipis, sehingga menjadi conditio sine qua non bahwa UU Perlindungan Data Pribadi harus segera dihadirkan di Republik ini.[]

Catatan: tulisan ini sudah dipublikasi pada situs web Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila (magisteroflaw.univpancasila.ac.id)

Penulis: Dr Armansyah SH MH CMed adalah Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum  Universitas Pancasila, dan Dosen Hukum Telematika Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta.