Teknologi Terapan
Antara Mengeluh atau Menangkap Peluang Era Digital
DULU, mungkin kita hanya akrab dengan cerita tentang nabi yang bisa menempuh jarak ratusan kilometer dalam satu malam, saat teknologi bahkan masih menjadi kata yang asing bagi masyarakat manapun. Sekarang, segalanya benar-benar cepat, dan hampir segala hal berlangsung bak kilat.
Saat sebagian masih takjub dan asyik sebagai pengguna media sosial, di belahan dunia lainnya semakin banyak orang mengakrabi perkembangan teknologi digital yang semakin jauh lagi.
Bisa jadi, hari ini masih ada di antara kita yang masih merasa asing dengan istilah semacam advanced robotic, artificial intelligence (AI), internet of things (loT), virtual and augmented reality. Atau, juga ada lagi additive manufacturing, e-commerce, big data, shared economies, dan Financial Technology (Fintech).
Pun, Fintech sendiri bisa jadi menjadi istilah yang asing walaupun tak sedikit pengguna internet yang acap "melarikan diri" dengan berutang pada berbagai aplikasi yang menjembatani utang-piutang.
Alhasil, dapat dikatakan bahwa ketika dunia sudah berlari jauh ke depan, dan mesin sudah merambah ke berbagai lini kehidupan kita sendiri, masih banyak yang takjub dan mungkin tidak menyadari perubahan.
Itu juga yang terkadang bikin saya sendiri "rewel" di media sosial. Acap menyindir dengan kalimat semacam, "Dunia sudah berada di mana, kita masih berdiri di mana."
Ya, kerewelan yang saya pamerkan itu juga tentu saja bukan cuma menjadi "senjata" yang ditembakkan ke banyak kepala saja. Namun, itu juga untuk membangun kesadaran diri sendiri agar tetap aware dan jeli membaca dan menganalisis berbagai perubahan.
Sederhananya, jangan sampai sekeliling telah berubah, kita justru masih begitu-begitu saja. Sementara, dari masa lalu saja, sejak sejarah purba, banyak cerita yang menunjukkan bukti bahwa yang mampu bertahan bukan sekadar yang paling kuat. Dinosaurus adalah makhluk raksasa dan terkenal kuat, namun tak dapat bertahan dan bahkan punah. Pemicunya hanya karena mereka unggul dalam kekuatan, namun lemah dalam kemampuan menyelaraskan diri dengan perubahan.
Nah, sekarang, dengan kemunculan seabrek istilah digital dan kegandrungan yang mengikuti revolusi industri 4.0, rasanya memang patut pula untuk terus bertanya; "Kita sendiri saat ini sudah berada di mana?"
Kenapa hal ini saya sorot, tak lain karena mencermati juga di berbagai platform media sosial, bagaimana banyaknya orang yang hanya menebar keluh kesah seolah dunia akan seluruhnya mau turun tangan agar mereka berubah. Faktanya, dunia terus berubah, dan tak menggubris siapa saja yang berkeluh kesah, melainkan yang mampu menyelaraskan diri dengan apa saja yang sudah berubah.
Tanpa kemampuan menyelaraskan diri dengan perubahan tersebut, bukan mustahil, dunia sudah berlari ribuan kilometer, kita masih berada di kilometer yang sama dengan 10 atau 20 tahun lalu. Tentu saja, tertinggal berarti kalah, dan membiarkan diri kalah hanya melarutkan diri ke dalam keluh kesah. Nah!