Kebijakan Pemerintah
Membaca Kecemasan di Balik Ide Umrah Digital
HARI INI mesti dilihat dengan kacamata hari ini. Setidaknya, itulah yang saya tangkap dari sosok Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, yang beberapa hari belakangan disorot kalangan bisnis travel gara-gara ide umrah digitalnya.
Di sini, menyalahkan bisnis travel tentu tidak bijak. Pun melempar kesalahan kepada Rudiantara bukan juga pilihan lebih bijak. Sebab di tengah kondisi ini, yang dibutuhkan bukanlah saling menyalahkan, melainkan bagaimana bisa saling menyelaraskan.
Rudiantara bersama Kemkominfo yang dipimpinnya, sejauh ini masih terlihat mengacu pada konsep keselarasan. Ia ingin menyelaraskan kebijakan dengan sesuatu yang sedang berkembang. Tentu saja ini adalah sebuah perubahan.
Ide umrah digital diusungnya mungkin mirip dengan situasi jauh di masa lalu. Saat orang-orang berangkat haji atau umrah dengan kapal laut, dan memakan waktu berbulan-bulan, lalu bisa ke sana hanya dalam hitungan jam. Kesibukan di pelabuhan menjelang musim haji dan umrah, beralih ke bandara.
Sekarang, di era digital, pemandangannya sejatinya sama saja. Siapa saja ingin sesuatu bisa terjawab dengan cepat, hemat waktu, dan tidak perlu terlalu membuang tenaga. Inilah yang tampaknya ditangkap oleh Rudiantara, dan dialirkan ke dalam gagasan, bagaimana agar bisa menciptakan perubahan yang selaras dengan tuntutan zaman yang ingin lebih cepat?
Ide umrah digital, tampaknya mengacu pada konsep itu.
Bahwa ide ini belakangan memicu kecemasan hingga ketakutan kalangan pebisnis yang bergerak di bidang haji dan umrah, pun lumrah saja. Sebab dari dulu, mungkin sampai kapan saja, perubahan kerap mengagetkan dan bahkan menakutkan.
Ketakutan serupa juga pernah menghinggapi benak sebagian masyarakat yang pernah bekerja sebagai tukang ojek pangkalan. Saat GoJek muncul dengan kekuatan ide yang dikawinkan dengan teknologi, ojek pangkalan menunjukkan resistensi alias perlawanan.
Saya teringat bagaimana setiap kali pulang ke Bandung, di awal-awal kemunculan Gojek, beberapa kali menemukan penolakan dari driver GoJek lantaran kebetulan saya berada di dekat ojek pangkalan. Atau, kali lain, ada yang berani menjemput, namun mereka tidak mengenakan atribut khas driver Gojek. Alasan mereka, agar keberadaan mereka tidak terendus oleh kalangan ojek pangkalan.
Sama-sama dihantui ketakutan. Ojek pangkalan dihantui ketakutan berkurangnya pendapatan, sedangkan driver GoJek ketakutan dengan sikap tidak menerima dari kalangan ojek pangkalan.
Terlebih saat itu sudah menjadi rahasia umum, mereka yang sudah bergabung dengan GoJek acap menjadi sasaran kekerasan dari kelompok ojek pangkalan.
Begitu juga dengan kemunculan Shopee, Bukalapak, hingga Tokopedia. Ketakutan pun merebak di kalangan pemilik toko di mal dan berbagai tempat lainnya. Sebagian kalangan cenderung saling menyalahkan, hingga membuat ketakutan yang tidak perlu semakin merebak ke mana-mana. Alih-alih mengisi pikiran dengan ide-ide yang dapat menjawab tantangan, justru pikiran mereka terusik dengan ketakutan tersebut.
Semestinya, perubahan tidak perlu ditakutkan. Sebagaimana perubahan takkan begitu saja batal terjadi hanya karena ketakutan. Namun, keselarasan menjadi kata kunci, sehingga ketakutan-ketakutan yang tidak perlu dapat bertransformasi menjadi ide-ide yang lebih baik, yang tidak menyalahkan siapa-siapa, melainkan menemukan apa yang salah dalam menyikapi perubahan. Kira-kira, teorinya begitu.
Tampaknya hal ini juga yang sangat dipahami oleh Rudiantara. Maka itu saat kalangan pers mempertanyakan soal kecemasan yang merebak di kalangan pebisnis travel terkait ide umrah digital, ia mengajak melihat pemandangan mirip yang dialami GoJek hingga GoFood. Sebuah contoh yang memang sangat gampang terlihat, dan semestinya cukup menjadi acuan, bagaimana sebaiknya menyikapi perubahan.
Saya membayangkan, Rudiantara memiliki keyakinan bahwa kalangan pebisnis dalam negeri sudah akrab dengan tren perubahan yang terjadi selama ini.
Maka itu, ia dengan tegas menyampaikan sikapnya setelah bersua Abdullah Alswaha di Riyadh, 4 Juli lalu. “Kami berkomitmen menjadikan kerja sama ini tidak sekadar MoU atau Memorandum of Understanding, melainkan MoA, yakni Memorandum of Action,” katanya saat itu.
Rudiantara pastinya melihat bahwa Indonesia dan Arab Saudi punya cerita kerja sama yang tak lagi bisa dibilang "baru kemarin sore." Pasalnya, kedekatan kedua negara telah terjalin lebih dari 60 tahun. Bukan waktu singkat.
Terlebih dalam empat tahun belakangan, ada kemesraan sendiri yang terbangun antara Indonesia dan Arab Saudi. Itu juga dikukuhkan lagi dengan kedatangan Raja Salman pada 2017 lalu. Ditopang lagi dengan gagasan Saunesia atau Saudi-Indonesia, untuk mengokohkan kerja sama ekonomi sampai dengan haji, selain juga budaya dan keamanan.
Di tengah "kemesraan" itulah Rudiantara mengambil celah. Di sana ia menemukan kesempatan, karena ia menilai bahwa pasar umrah adalah captive market yang punya potensi bagi kedua negara. "Karena semua umat Muslim akan menunaikan ibadah umrah," katanya, saat itu.
Dari sanalah muncul gagasan pengembangan Umrah Digital Enterprise, hingga Tokopedia dan Traveloka direncanakan akan disodorkan ke depan untuk menjalankan gagasan tersebut.
Pihak Arab Saudi pun menunjukkan optimisme mereka. Bahkan Alswaha menunjuk langsung bahwa hingga kini Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. "Berkolaborasi dengan negara berpenduduk Muslim terbesar dunia, saya percaya, kita bisa melakukan banyak hal yang luar biasa," kata Menteri Komunikasi dan Teknologi Informasi Arab Saudi tersebut.
Namun lagi-lagi, ide besar tersebut sejauh ini belum mendapatkan respons positif dari beberapa kalangan yang selama ini berbisnis travel umrah. Mereka terlihat gelisah, dan berharap apa yang sudah dirasakan mapan janganlah berubah. Pertanyaannya, hingga kapan kita bisa menentang perubahan? Saya pribadi lebih berharap agar negeri ini justru dapat lebih akrab dan siap dengan perubahan daripada terbiasa meratapi perubahan. Bagaimana dengan Anda?