Teknologi Digital Mengganggu Elemen Kedaulatan Nasional
Cyberthreat.id – Tata kelola pemerintahan tak hanya menempatkan diri sebagai faktor pendukung untuk transformasi digital, namun justru harus menjadi titik sentral transformasi itu sendiri. Itulah yang dilakukan oleh negara-negara maju dalam menyikapi era digital saat ini.
Bahkan sejumlah negara-negara maju saat ini sudah memiliki lembaga yang bisa disebut sebagai duta dunia maya. Namun, pemerintah Indonesia hingga kini belum memiliki arah kebijakan yang tepat dalam merespon perkembangan teknologi digital. Ini dapat dilihat dari politik anggarannya yang masih jadul.
Di Amerika, saat ini sudah ada yang namanya Duta besar Departemen Luar Negeri untuk dunia maya dan kebijakan digital. Nate Fick adalah sosok yang menjabat pada posisi tersebut saat ini.
Perhatian Amerika terhadap dunia maya (ruang siber) tersebut, secara langsung menunjukkan bahwa teknologi menjadi dasar setiap aspek kehidupan modern. Ransomware menghancurkan ekonomi. Disinformasi mengganggu demokrasi. Malware melumpuhkan infrastruktur.
Itulah sebabnya, Amerika menarik dunia maya ke dalam pusat strategi keamanan nasionalnya. Langkah itu dimulai pada 2021.
Ketika itu, menurut laporan Fastcompany.com, Sekretaris Negara AS Antony Blinken mengumumkan bahwa digital akan menjadi salah satu bidang fokus utamanya.
Tahun lalu, dia meluncurkan biro baru untuk Cyberspace dan Kebijakan Digital, dengan Fick sebagai pemimpinnya. “Dengan digitalisasi segalanya, muncul kerentanan terhadap segalanya,” kata Fick sebagaimana dikutip Fastcompany.com.
Meskipun Barat mendominasi inovasi teknologi di tahun 90-an dan 2000-an, China dan Rusia lebih cepat memahami bagaimana alat ini dapat digunakan untuk mendapatkan keuntungan geopolitik di seluruh dunia. Iran dan Korea Utara telah menggunakan teknologi baru untuk menimbulkan kerugian nyata.
Rusia menggunakannya untuk menyebarkan disinformasi dan menabur perselisihan di antara musuh-musuhnya. China sekarang mengekspor teknologi pengawasannya ke luar negeri, dan bersama mereka filosofi politiknya tentang bagaimana sistem itu dapat digunakan untuk mengendalikan populasi.
Malaysia, Ethiopia, Venezuela, dan Singapura telah menerapkan segalanya mulai dari teknologi pengenalan wajah hingga sistem pelacakan media sosial.
Teknologi Adalah Masalah Keamanan Nasional
Industri teknologi sudah bergulat dengan fakta bahwa ini bukan lagi dunia yang terpisah, bebas berkreasi tanpa campur tangan pihak luar. Diskusi privasi dan peraturan yang muncul beberapa tahun terakhir telah menjelaskan semua itu.
Sekarang sektor ini memiliki serangkaian pertimbangan baru untuk direnungkan—keamanan nasional. Masalahnya sangat mendesak sehingga sekitar dua lusin negara telah mulai mengerahkan utusan diplomatik khusus ke Silicon Valley untuk berinteraksi langsung dengan dunia teknologi.
Silicon Valley merupakan pusat inovasi di Amerika Serikat (AS) yang terletak di selatan San Francisco, California, Amerika Serikat (AS). Wilayah ini menampung 2.000 perusahaan teknologi yang merupakan konsentrasi terpadat di dunia.
Bahwa teknologi adalah juga menjadi masalah keamanan nasional diakui oleh Martin Rauchbauer, codirector Tech Diplomacy Network dan Duta Teknologi Austria untuk Silicon Valley. “Teknologi baru ini—perusahaan dan platform—mengganggu elemen kedaulatan nasional [seperti] institusi demokrasi kita, percakapan nasional kita, dan pemilu kita,” katanya.
Amerika tentu saja sangat menyadari hal itu. Dalam beberapa bulan sejak menjabat, Fick telah terbang ke seluruh dunia, bekerja untuk membangun koalisi yang berpikiran sama dengan sekutu dan mitra dalam segala hal mulai dari standar teknologi hingga peraturan hingga norma internasional.
Fick berharap memiliki setidaknya satu orang dengan keahlian teknologi di setiap misi luar negeri AS pada akhir tahun depan. “Dia menangkap semua informasi yang relevan, menyusun kabel, dan melakukan pelaporan berkualitas tinggi kembali ke Washington yang memberi kami visibilitas tentang apa yang terjadi,” kata Fick.
“Ada 200 negara lain di seluruh dunia, dan banyak hal buruk terjadi di banyak negara setiap hari,” katanya. “Komunikasi yang efektif, tepat waktu, terinformasi, dan tajam sangat penting untuk memusatkan perhatian dan energi pada hal yang penting.”
Bagaimana negara Indonesia? Pertanyaan lanjutannya, apakah pemangku kebijakan di Indonesia memusatkan perhatian dan energinya pada hal-hal yang penting itu? Tentu tidak dapat dibandingkan dengan langkah yang sudah dijalankan negara-negara maju.
Namun setidaknya, respon para pejabat tingkat tinggi maupun di parlemen sudah boleh mengarah kepada keamanan nasional yang hingga kini belum jelas arahnya.
Benarkah demikian? Tidak perlu memberi ulasan dengan detail mengani hal ini. Cukup dengan melihat bagaimana para pemangku kebijakan dalam merawat lembaga yang membidangi ruang siber di negara ini, terutama dalam sektor anggarannya. Sudah waktunya juga Indonesia memiliki Kementerian Siber.[]