Gangguan Layanan Bank: Tengok yang Dilakukan Singapura ke Bank DBS

Ilustrasi. Foto: Shutterstock

KERJA keras dan standar yang tinggi memang tidak mengenakkan, namun jika kita ingin mencapai tingkatan tertinggi dalam menjalankan usaha, harus ada kerja keras dan standar yang tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh negara kecil Singapura, di mana MAS Money Authority of Singapore, regulator perbankan, sangat ketat mengawasi dan menjaga institusi finansial di Singapura dan menetapkan standar yang tinggi pada semua bank di bawah otoritasnya.

Salah satu contohnya adalah ketika bank DBS mengalami gangguan pada layanan digital dan ATM selama 45 menit. CEO DBS meminta maaf atas gangguan layanan tersebut dan menyadari jika nasabahnya mengharapkan layanan yang tidak terdisrupsi.

Namun, atas gangguan layanan selama 45 menit tersebut, MAS "menghadiahi" DBS dengan kewajiban tambahan modal disetor menjadi total 1,6 miliar dolar Singapura karena ketidakmampuan memberikan layanan yang tidak terdisrupsi. Selain itu, MAS juga meminta DBS untuk melakukan asesmen independen terhadap manajemen, kompetensi karyawan, proses operasional, resiliensi sistem dan desain arsitektur dari layanan digital banking DBS.

Sementara, di Indonesia, terjadi gangguan layanan pada salah satu bank selama lebih dari 24 jam dan setelah nasabah berteriak karena tidak bisa mengakses layanan yang seharusnya menjadi haknya, bank memberikan pernyataan sedang melakukan pemeliharaan sistem.

Lucunya, pemeliharaan sistem yang seharusnya dilakukan pada saat tidak sibuk di tengah malam atau hari libur malah dilakukan pada hari pertama ketika aktivitas ekonomi mulai dilakukan—di hari Senin. Gangguan layanan ini terjadi sampai berhari-hari dan sampai saat artikel ini dibuat di Kamis (11 Mei 2023) pagi, situsweb bank tersebut masih tidak bisa diakses.

Menarik melihat apa yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan terhadap disrupsi layanan yang sedemikian lama dan nyata-nyata sudah mengganggu aktivitas ekonomi khususnya masyarakat Aceh yang sangat mengandalkan bank ini.

Alih-alih menjalankan tugasnya sebagai regulator dan memastikan layanan perbankan bisa diakses oleh masyarakat dikemudian hari, OJK malah terkesan menjadi juru bicara bank yang bermasalah dengan memberikan pernyataan:

“Kami berharap masyarakat dapat meresponnya dengan baik dan tenang, serta tidak mengaitkan permasalahan ini dengan hal lain yang kurang produktif lainnya, karena murni permasalahan sistem," tutur OJK.

Seakan-akan disrupsi layanan digital adalah hal yang wajar dan tidak perlu dibesar-besarkan dan masyarakat harusterima saja dengan keandaan yang ada.

Penulis setuju jika masyarakat tidak usah panik dan dananya di bank akan tetap aman sekalipun terjadi gangguan layanan, namun jika disrupsi layanan berhari-hari dianggap hal yang wajar dan harus diterima masyarakat dengan tenang, maka hal ini akan menjadi pertanyaan besar apakah regulator mampu menjalankan tugasnya dengan baik dan kita sudah bisa menebak ke arah mana industri perbankan digital Indonesia akan berkembang. Apakah bisa bersaing dengan industri digital regional yang sedemikian ketat mengawasi dan meregulasi bank dan lembaga keuangan yang menjadi tanggung jawabnya.

Jika terjadi kedaruratan dan bank mengalami disrupsi layanan beberapa jam, hal itu masih bisa dimengerti dan ditolerir. Tapi jika layanan terdisrupsi berhari² dan jawabannya hanya karena maintenance dan masyarakat harus menerima hal ini, tentu ini menjadi pertanyaan besar dan sangat wajar masyarakat pengguna layanan mempertanyakan apa sebenarnya yang terjadi dan seberapa besar kemampuan bank memberikan layanannya.

Uang nasabah yang disimpan di bank adalah hak nasabah dan bank berkewajiban memberikan akses atas dana yang dipercayakan kepadanya dengan memberikan layanan yang berkesinambungan.

Menghukum dan menyalahkan jika ada insiden tidak akan bisa membatalkan insiden yang sudah terjadi. Insiden yang sudah terjadi ibarat susu yang sudah tumpah, tidak penting menangisi susu yang sudah tumpah, tetapi kita harus belajar mengapa susu bisa tumpah dan apa yang harus dilakukan ke depannya supaya susu tidak tumpah.

Di sinilah, peran regulator yang seharusnya menyadari posisinya, regulator dibentuk untuk melindungi masyarakat dari korporat yang tidak menjalankan kewajibannya dengan baik.

Dan jika regulator menjalankan kewajibannya dengan benar dan standar yang tinggi, terkadang akan menjadi pil pahit bagi korporat yang harus mengikuti standar yang tinggi yang telah ditentukan.

Namun, hal ini akan sangat bermanfaat dimana masyarakat akan dapat menikmati layanan perbankan yang menjadi hak nya dan industri finansial Indonesia yang akan mendapatkan keuntungannya karena dengan standar tinggi dan tidak ada kompromi dalam menjalankan standar ini akan membawa industri perbankan Indonesia ke tingkat yang lebih tinggi dan bersaing dalam level regional dan dunia.

Penulis adalah mantan bankir dan peneliti keamanan siber Vaksincom