Milenial, Generasi Pembunuh Album Foto

Pengamat Marketing Yuswohady | Foto: Instagram

LIHAT hasil survei di Inggris berikut ini: hanya 25 persen foto ditaruh di album dan jutaan foto yang tersimpan di smartphone, laptop, ataupun desktop tak pernah di-download.

Dua dari tiga orang menyimpan foto secara online atau di komputer, tablet, dan HP. Satu dari lima orang mengambil foto dengan tujuan untuk mem-posting di Facebook, Twitter, atau Instagram.

Sekitar 53 persen milenial muda lebih suka mem-posting foto mereka di Facebook dan hanya 13 persen dari mereka yang pernah punya album foto.

Sementara selfie kini menjadi pose foto paling populer bagi kalangan milenial muda, dimana sekitar 30 persen dari foto-foto yang mereka ambil adalah foto selfie.

Survei dari Samsung menunjukkan rata-rata 1,9 miliar foto dibuat setiap bulannya dan 328 juta di antaranya di-share secara online.

Sekitar 10 persen foto yang mereka ambil “hilang” dalam waktu kurang dari 60 detik. Artinya, mereka mengambil foto dan kemudian mem-posting-nya di web dalam waktu kurang dari satu menit dan setelah itu tak pernah dilihat lagi.

Walaupun survei tersebut dilakukan di Inggris namun sesungguhnya gambaran tersebut merupakan fenomena global yang terjadi di seluruh negara tak terkecuali di Indonesia.

Kelahiran smartphone sebagai kamera dan lahirnya media sosial seperti Facebook dan Instagram menjadikan milenial memproduksi paling banyak foto dalam sejarah umat manusia. Namun, foto itu bukan disimpan di dalam album, tapi di-share secara online pada saat itu juga (instantly).

Tak pelak lagi, tren ini memicu “terbunuhnya” album foto yang di era Gen-X dan Baby Boomers begitu populer sebagai pengingat masa-masa indah perjalanan hidup sebuah keluarga. Tradisi menyimpan foto di dalam album kini telah punah dan menjadi cerita sejarah masa lalu.

Kini perilaku berfoto milenial dan bagaimana mereka memanfaatkan hasil foto tersebut sudah berubah secara drastis dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya.

Sekarang berfoto menjadi sebuah aktivitas yang instan. Jepret, dapat hasilnya dalam format digital, dilihat sebentar, kemudian di-share ke teman-teman via Facebook atau Instagram, habis itu selesai. 

Setelahnya besar kemungkinan foto-foto yang sudah menjadi domain publik tersebut tak pernah dilihat lagi.

Milenial berfoto ria bukan untuk dinikmati dengan mencetaknya lalu menempatkannya di dalam album atau pigura. Dulu foto disimpan di dalam album agar kelak bisa dilihat-lihat bersama seluruh anggota keluarga untuk mengenang memori-memori masa lalu yang indah. 

Sekarang tradisi seperti itu tidak ada lagi!

Kini album foto tergantikan oleh SD card atau ruang memori di smartphone, hard disk di laptop dan komputer, media sosial seperti Facebook atau Instagram atau ruang-ruang cloud di jagat internet.

Kini, membuat dan menyimpan foto secara digital menjadi begitu mudah, murah, dan praktis, walaupun setelah dibuat dan disimpan kecil kemungkinannya foto-foto itu dilihat lagi.

Ketika milenial kini bisa membuat dan menyimpan foto sebanyak apapun yang mereka mau, maka justru foto-foto itu semakin tidak bernilai.

Benar sekali ungkapan: "more is less". Ketika foto-foto kini melimpah-ruah maka nilainya justru mengecil. Foto kini menjadi tidak se-bernilai dan se-sakral dulu lagi.