RUU KAMSIBER
Jangan Sebelah Mata di Depan Keamanan Siber
KEAMANAN siber (cyber security) yang belakangan akrab disebut dengan "Kamsiber" sudah jadi sorotan sejak lama. Organisasi seperti Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) terbilang jauh-jauh hari sudah mengangkat isu tersebut.
Alasannya tentu saja tidak sederhana. Sebab, seperti pernah diungkapkan Andi Budimansyah sebagai "dedengkot"-nya PANDI, semua sektor membutuhkan cyber security.
Jika di masa lalu hanya kalangan militer yang punya perhatian ekstra atas persoalan ini, kini perhatian terhadap isu Kamsiber ini sudah menjadi perhatian banyak pihak. Sebab, serangan siber memang tidak hanya menyasar ranah militer, tetapi juga merangsek hingga kalangan kampus dan perbankan.
Belum lagi dengan prakiraan yang menyebutkan bahwa pada 2020 ini, IP traffic di Tanah Air akan mencapai 2,1 exabytes per bulan. Ditambah lagi jumlah networked devices, dapat menyentuh angka 550,8 juta perangkat--berdasarkan data Cisco.
Bukan sekadar angka, namun prakiraan itu juga mengajak melihat bahwa akan ada kompetisi yang semakin keras di tingkat global. Ada berbagai potensi baik yang dapat diincar di sana, namun berbagai data tersebut juga menunjukkan bahwa realitas ini membutuhkan kewaspadaan terkait adanya risiko yang juga sama besar.
Ringkasnya, semakin tinggi perangkat yang terhubung dengan jaringan teknologi informasi, maka semakin tinggi risiko yang berkaitan dengan cyber security. Pasalnya, "pintu masuk" untuk terjadinya serangan siber pun akan semakin terbuka.
Potensi ini sudah teraba bahkan dari tiga tahun lalu. Setidaknya, per 2016 saja, Indonesia sudah menghadapi infeksi malware hingga 91 ribu. Jika dibandingkan dengan infeksi yang terjadi secara global, ini setara dengan 26,3 persen--berdasarkan catatan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII).
Berkaca ke negara lain, tak sedikit yang sudah memberikan perhatian ekstra terhadap isu ini saat Indonesia masih berdebat, seberapa perlukah urusan ini?
Sebut saja Amerika Serikat, Rusia, China, Israel, hingga Korea Utara dan bahkan Iran, terkenal sebagai negara-negara yang punya keseriusan besar untuk memastikan keamanan siber.
The Economist pernah melansir bahwa negara seperti Iran saja, menunjukkan komitmen ingin menjadi yang teratas dalam urusan keamanan siber. Sempat ada klaim bahwa Iran adalah negara kedua terbaik dalam hal kekuatan pasukan siber. Bahkan AS saja memberikan pengakuan tersebut.
Namun, upaya Iran tersebut tidak terlepas juga dari fakta bahwa mereka menjadi salah satu negara paling sering menjadi sasaran serangan siber negara-negara rival mereka.
Di pihak lain, kekuatan spesialis keamanan siber juga acap jadi persoalan di banyak negara. AS saja sempat melansir kabar bahwa mereka hanya punya spesialis keamanan siber sekitar seribu orang. Namun belakangan, persoalan ini semakin mendapatkan perhatian serius. Setidaknya di era Barack Obama saja, AS sudah menargetkan 20-30 ribu spesialis yang berkompeten di berbagai bidang sekuriti setiap tahunnya.
Sebab, seperti pernah diperkirakan Eva Noor, pakar keamanan siber Indonesia, negara-negara seperti AS memiliki kebutuhan sumber daya manusia di sektor cyber security mencapai 15 juta orang.
Bagaimana di Indonesia?
Sumber daya manusia di bidang cyber security Indonesia masih menjadi tanda tanya. Pasalnya, per 2017 saja, menurut data Asosiasi Perguruan Tinggi Ilmu Komputer (APTIKOM), Indonesia hanya punya 400 ribu lulusan teknologi informasi. Pun, tidak semua memilih bekerja di sektor keamanan siber.
Di sinilah, dengan adanya Undang-Undang Keamanan Siber, berbagai hal yang dibutuhkan untuk penguatan cyber security dapat lebih leluasa dikejar.
Walaupun benar, seperti diungkap anggota Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Kolonel Arwin Datumaya Wahyudi Sumari dalam wawancara dengan Cyberthreat.id, April lalu, bahwa Indonesia terbilang lambat mengurus soal ini. Sejumlah negara Asia Tenggara telah mengesahkan UU yang mengatur ruang siber.
Maka itu, keseriusan berbagai pihak untuk melihat urgensi UU tersebut, menjadi sebuah kebutuhan. Jangan sampai, saat semestinya perkembangan siber membawa keuntungan untuk Indonesia, justru membawa dampak merugikan karena kelengahan kita menjawab kebutuhan zaman.***