Fintech dan Ancaman Siber di Indonesia Pada 2018

Ilustrasi | IST

SEJUMLAH kejahatan siber melibatkan teknologi tinggi dan lintas negara terbongkar pada 2017 lalu dan patut menjadi pembelajaran dan kewaspadaan pada tahun ini. Ancaman kejahatan siber adalah konsekuensi logis perkembangan teknologi. Di sisi lain, kejahatan siber adalah salah satu bentuk nyata white collar crime dengan ancaman kerugian sangat besar.

Oleh karena itu, kasus kejahatan siber yang dibongkar di Jakarta, Bali, dan Surabaya dengan melibatkan warga negara asing (WNA) harus ditelusur lebih mendalam agar ke depan hal serupa dapat diminimalisasi. Terkait hal ini tidak bisa dipungkiri bahwa fenomena kejahatan siber bersinergi dengan era perkembangan fintech, tidak hanya di negara industri maju, tapi juga berkembang pesat di Negara berkembang, termasuk di Indonesia.

Artinya, di tahun politik ini perlu dicermati adanya ancaman kejahatan siber, baik lokal dan nasional, juga lintas negara. Fenomena fintech dan ancaman kejahatan siber memberikan konsekuensi yang sangat besar, tidak hanya kepada pengguna saja tapi juga pemerintah, terutama terkait dengan regulasi yang diterapkan.

Oleh karena itu, kasus terbongkarnya kejahatan siber yang melibatkan WNA menjadi pembelajaran untuk meningkatkan aspek keamanan. Alasan yang mendasari bahwa adopsi teknologi pada fintech tidak hanya mengacu kepentingan keamanan, tapi juga kemudahan dan kecepatan layanan.

Meskipun demikian, harus juga dipahami adanya risiko, baik dalam bentuk technical risk ataupun human risk. Selain itu, ada juga ancaman risiko internal dan eksternal. Artinya mereduksi semua risiko itu harus disadari oleh subjek dari fintech dan jika tidak maka ancaman menjadi korban kejahatan siber bisa saja terjadi.

Antisipasi

Mengapa harus fintech? Mengacu data Indonesia’s Fintech Association (2016) bahwa pertumbuhan pelaku fintech periode 2015-2016 mencapai 78%, sedangkan untuk periode 2013- 2014 hanya 9%. Fakta ini tidak bisa terlepas dari perkembangan pengguna internet, sementara di sisi lain tariff internet yang semakin murah dan akses yang semakin mudah menjadi daya tarik tersendiri yang mendukung fintech di semua negara.

Selain itu, fakta pengguna ponsel pintar yang pesat dan harganya terjangkau juga menjadi pemacu daya tarik penggunaan fintech. Dalam sinergi itu semua maka tidak heran jika fintech semakin berkembang dan tentu konsekuensinya adalah adanya ancaman kejahatan berbasis siber yang mengacu aplikasi teknologi juga.

Fakta ancaman kejahatan siber, termasuk yang dilakukan WNA di Indonesia, seharusnya menjadi test case untuk membangun pondasi keamanan siber, terutama layanan untuk semua jasa keuangan. Paling tidak edukasi kepada pengguna juga harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Argumen yang mendasari karena secara teoritis pengguna fintech bisa dibedakan menjadi dua yaitu tipe high touch dan high tech, sedangkan karakteristik keduanya sangat berbeda, terutama terkait persepsi risiko.

Oleh karena itu, mereduksi risiko menjadi faktor kunci untuk mendukung perkembangan fintech, meski di sisi lain hal ini juga tidak bisa terlepas dari ancaman kejahatan yang dilakukan oleh oknum demi keuntungan pribadi. Fakta perkembangan fintech yang booming tidak sekadar memudahkan akses beragam produk keuangan, mempermudah transaksi dan juga meningkatkan literasi keuangan tapi juga menjadi bagian dari e-lifestyle.

Artinya, fintech lahir sebagai bagian dari perubahan keperilakuan dan juga realitas mobilitas individu yang semakin tinggi sehingga semua butuh koneksi dan layanan yang bersifat realtime online. Padahal, tuntutan itu semuanya jelas harus didukung dengan kecepatan akses dan layanan, sementara di sisi lain semua bentuk kemajuan teknologi tetap ada celah yang bisa dimanfaatkan oknum demi meraih keuntungan pribadi.

Paling tidak hal ini terbukti dengan adanya beragam kejahatan siber yang dilakukan oleh hacker, termasuk modus cracker. Artinya, perlengkapan pengaman seperti password dan username tidak seratus persen menjamin keamanan sehingga perlu ada pengamanan berlapis, termasuk misal penggunaan single password atau one time password untuk sekali transaksi demi pengamanan dan keamanan.

Serius

Terlepas dari perkembangan fintech dan ancaman kejahatan siber dari fintech bahwa era global memberikan peluang untuk mendukung adopsi teknologi. Di sisi lain inovasi teknologi tidak pernah berhenti sekejap sehingga jeda ini memberikan peluang bagi oknum untuk melakukan kejahatan berbasis teknologi yang kemudian dikenal juga dengan kejahatan siber.

Oleh karena itu, terbongkarnya kejahatan siber di Indonesia pada tahun 2017 harus menjadi pembelajaran. Paling tidak sejak 25 Januari 2017 telah terjadi kejahatan siber yang melibatkan WNA asal Tiongkok dengan pelaku 7 orang (lokasi Jakarta), 21 April 2017 melibatkan 52 WNA asal Tiongkok (lokasi Jakarta), 16 Mei 2017 juga di Deli Serdang, Sumatera Utara melibatkan 76 WNA asal Tiongkok dan Taiwan yang menimbulkan kerugian Rp 13 miliar, 29 Juli 2017 di Bali melibatkan 17 WNA dari Tiongkok dan 10 dari Taiwan dengan modus penipuan via telepon, pada 29 Juli di Jakarta juga melibatkan 27 WNA asal Tiongkok dengan modus memeras korban, dan pada 30 Juli 2017 di Surabaya melibatkan 92 WNA asal Tiongkok dan Taiwan dengan total kerugian Rp 5,9 triliun.

Kejahatan siber yang terjadi di Bali, Surabaya dan Jakarta bukanlah yang pertama dan tentu juga bukan yang terakhir karena kejahatan siber yang termasuk white collar crime akan terus berevolusi dan berenovasi seiring dengan perkembangan teknologi. Artinya, mereduksi risiko dari kemajuan dan perkembangan teknologi menjadi penting, sementara di sisi lain edukasi kepada masyarakat harus terus dilakukan secara berkelanjutan agar terhindar dari ancaman kejahatan siber. Meski demikian, harus juga dipahami tidak ada kejahatan yang sempurna, semua meninggalkan sidik jari digital yang bisa ditelusur.

Edy Purwo Saputro adalah Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Solo