Sungkeman Virtual

Ilustrasi | Foto: freepik.com

PARA baby boomer  yang lahir di masa-masa prakemerdekaan hingga 1965-an sebetulnya lebih dulu mengalami apa yang kita sebut akhir-akhir ini sebagai “silaturahmi online”.

Semua harus berterima kasih kepada Antonio Meucci ketika menemukan telepon pada 1876 dan mematenkannya pada 1871. Selama ini kita mengenal Alexander Graham Bell sebagai penemu perangkat ini, tapi ternyata bukan. Setelah berabad-abad, tepatnya pada 11 Juni 2002, Kongres Amerika Serikat menetapkan Meucci sebagai penemu telepon.

Ketika zaman Hindia Belanda, Indonesia sudah bisa menikmati telegraf. Pada 1976 adalah tonggak baru telekomunikasi Indonesia. Satelit Palapa A-1 diluncurkan. Cakupan jaringan telepon pun meluas hingga luar negara. Sejak itulah penggunaan telepon melesat di mana-mana. Telepon umum berderet-deret. Kartu telepon dijajakan. Wartel menjamur.

Dan, sejak itu pulalah tiap-tiap tahun, seperti hari ini, keluarga atau saudara yang berjauhan saling bersapa dan berucap maaf-maafan melalui telepon.

Saya masih mengalami masa-masa orangtua saya, yang kini sudah masuk di usia mendekati 70 tahun, dulu pagi-pagi sehabis subuh atau usai shalat Id, menelepon saudara sana-sini.

Kami bergembira di tengah gema takbir. Tapi, kami dulu, anak-anak, termasuk malu-malu jika harus “sungkeman online”. Sebab, kami  tak terbiasa untuk mengucapkan “selamat lebaran” di telepon. Apalagi sebagai orang Jawa, sungkeman kami terbiasa dengan ucapan bahasa Jawa krama inggil.

Kini zaman telah berubah. Tiga puluh tahun lebih, perkembangan telekomunikasi berubah drastis. Internet yang memasuki Indonesia di medio 90-an mengubah segalanya di era 2000-an.

Mark Zuckerberg, pendiri Facebook, bolehlah kita sebut sebagai pendobrak budaya baru, budaya bermedia sosial. Ia memfasilitasi orang untuk bertemu dengan banyak orang, membuat koneksi dengan teman-teman, saudara-saudara lain, yang bahkan belasan tahun tak bersua.

Facebook menggantikan ruang-ruang pertemuan nyata berganti di ruang maya.

Lima tahun setelah Facebook berdiri, muncul yang namanya WhatsApp. Aplikasi obrolan ini pantaslah kita sebagai “perangkat revolusioner”—meski aplikasi serupa juga muncul, tapi WhatsApp kini paling populer. Dipakai oleh miliaran orang, mulai dari New York hingga pelosok di kaki Gunung Salak di Bogor.

WhatsApp berkembang menyesuaikan kebutuhan zaman. Tak cukup hanya obrolan, tapi juga bisa dipakai untuk menelpon.

Pada 2003, Skype memulai budaya baru berkomunikasi, memanfaatkan teknologi Voice over Internet Protocol (VoIP). Pengguna bisa berkirim teks, video, audio, dan gambar cukup berbasis kuota internet. Jika sebelum itu menelpon menghabiskan pulsa, telepon VoIP hanya mengandalkan kuota internet. Lebih murah dan simpel.

Sejak itu berkembang macam-macam aplikasi yang mendukung hal serupa, seperti WhatsApp, Telegram, Facebook Messenger, Duo, dan lain-lain.

Kini di tengah wabah virus corona (Covid-19), evolusi perkembangan telekomunikasi mendadak drastis. Kita semua terpaksa beradaptasi dengan aplikasi komunikasi video, tidak lagi sekadar teks dan audio.

Selama lima bulan terakhir, komunikasi video sangat drastis pemakaiannya. Zoom menjadi jawaranya.

Adanya  Zoom dkk semakin menegaskan istilah yang bertahun-tahun lalu pernah dikemukakan oleh pakar komunikasi Marshall McLuhan: “global village” (desa global). Dengan adanya komunikasi antarnegara yang semakin masif, tak ada lagi sekat-sekat yang menutupi, orang-orang sangat mudah bertatap muka. Dan, desa global yang disebut McLuhan benar-benar menjadi nyata.

Di hari lebaran ini, di Indonesia, khususnya, mudik untuk pertama kalinya dilarang secara resmi. Virus corona di mana-mana. Dari Jakarta hingga Papua. Ini yang menyulitkan orang saling bertemu muka secara fisik. Kita semua "dikarantina" alias di rumah saja, diminta untuk menunda bertemu. Maka, pilihan bersua virtual adalah pilihan yang sangat mungkin dilakukan.

Untungnya, jaringan internet masih dalam kondisi bagus. Saya ketika menulis ini, baru saja selesai silaturahmi online. Sungkem dengan orangtua di kampung. Tapi, kini sungkeman sedikit santai, tidak seperti tahun-tahun dulu, dengan bahasa krama inggil. Orangtua juga mulai menikmati “gaya baru berkomunikasi” sehingga tak “seserius” zaman simbah-simbah kami dulu. Kini sungkeman “mencair”, tapi tetap bermakna.

Selain sungkeman, meski berjarak, saya tetap bisa ziarah virtual—ikut berdoa bersama dengan keluarga di kampung yang sedang ziarah di makam. Kami menyalakan video call. Saya dan keluarga yang lain berdoa dan mengamini.

Ketika menatap wajah-wajah saudara dan orangtua nun di sana, saya seperti “melipat jarak” dan “memendekkan waktu”.

Ini akan menjadi catatan sejarah. Juga, menjadi momentum revolusi telekomunikasi. Entah, apa yang bakal terjadi setelah pandemi ini. Barangkali para pemikir teknologi sedang menyiapkan sebuah perangkat lain—atau sedikit mengkhayal, mereka sedang bermimpi, andaikan bisa menciptakan “kantung ajaib Doraemon”.

Selamat berlebaran virtual.