Tantangan Zoom Hadapi ‘Great Firewall’ China

CEO Zoom Eric Yuan. | Foto: Bloomberg/Michael Nagle

Cyberthreat.id – Aplikasi telekonferensi video, Zoom, dalam beberapa bulan terakhir mendapatkan banyak pengguna di China, mulai gereja bawah tanah hingga kalangan aktivitas feminis.

Mereka menggunakan Zoom sebagai “sesuatu yang langka untuk terhubung dengan dunia di luar jangkauan sensor negara”, tulis Reuters yang diakses Minggu (14 Juni 2020).

Aplikasi seluler Zoom telah diunduh 5,4 juta kali dari App Store China sejak 1 Januari hingga kini, 11 kali lipat dari periode yang sama pada tahun 2019, menurut perusahaan riset SensorTower.

Sebagian besar pengguna China beralih ke Zoom untuk panggilan konferensi dan obrolan santai, beberapa telah mengambil kesempatan untuk membahas topik yang berpotensi sensitif dari patriotisme hingga feminisme.

“Bagi kami, tantangan terbesar adalah bagaimana menjangkau orang-orang di China karena ‘Great Firewall’. Dan, Zoom untuk sementara tampak seperti ‘sinar harapa’,” kata Pendiri Humanitarian China yang berbasis di AS, Zhou Fengsuo, yang akunnya sempat diblokir.


Berita Terkait:


China memiliki kebijakan yang disebut “Great Firewall”. Sistem ini mengatur tata kelola internet. Yang tak sesuai dengan kebijakan pemerintah komunis China akan diblokir, contohnya Facebook dan Google.

Makanya, dengan kepopuleran Zoom, sejumlah pengguna mulai khawatir aplikasi tersebut juga turut kena sensor. Terlebih, pada Jumat (12 Juni), Zoom sempat memblokir tiga akun aktivis atas desakan pemerintah China.

Keputusan itu dilakukan Zoom lantaran aktivis Humanitarian China berbasis di AS memperingati kejadian di Lapangan Tiananmen pada 31 Mei lalu via Zoom. Akun itu ditutup pada 7 Juni, tapi kini telah dibuka kembali oleh Zoom.

Dalam acara virtual itu, jumlah peserta yang hadir mencapai 250 orang dari sejumlah negara dan disebarkan lagi lewat 4.000 streaming di media sosial.

Insiden Lapangan Tiananmen merujuk pada peristiwa 1989. Saat itu, terjadi demonstrasi besar-besaran antara 15 April hingga 4 Juni 1989 yang dipicu meninggalnya Sekjen Partai Komunias Hu Yaobang pada 15 April. Hu adalah tokoh reformis dan membuka diri terhadap demokrasi.

Pemerintah Beijing mengerahkan kekuatan militer untuk meredam aksi yang menginginkan kebebasan demokrasi. Kala itu pemerintah dikuasai oleh Partai Komunis yang dipimpin oleh Deng Xiaoping.

Beberapa kalangan feminis dan gereja yang disetujui negara juga menggunakan Zoom untuk mengadakan layanan.

"Zoom bukan satu-satunya perangkat lunak, tetapi kami merasa itu agak lebih mudah diakses," kata Xiao Meili, seorang aktivis feminis yang mengadakan pembicaraan Zoom pada April dengan gerakan #MeToo.

"Sebelumnya, beberapa teman merekomendasikan konferensi Tencent ... tetapi semua orang akan merasa seperti ‘Anda tidak boleh mengatakan sesuatu yang sedikit sensitif’," kata dia.

Pada Maret lalu, Youth Lectures memulai serangkaian dikusi Zoom yang salah satunya dipimpin oleh Profesor Chow Po Chung dari Universitas Cjina Hong Kong. Diskusi itu tentang kebebasan berbicara di China. Akun Chow di platform Weibo, media sosial mirip Twitter, pun dihapus beberapa kali.

Sementara itu, aktivis Lu Pin yang bermarkas di New York, yang akun “Feminist Voices”-nya di Weibo dan WeChat cukup bepengaruh dan ditutup oleh pemerintah China pada 2018, mengatakan, Zoom ialah cara untuk menghubungkan audiens China dengan dunia luar.

Pengguna Zoom China telah mengalami kendala baru sejak bulan lalu ketika perusahaan mengumumkan bahwa pengguna gratis tidak lagi dapat menyelenggarakan rapat, dan pendaftaran baru terbatas pada beberapa perusahaan. Padahal, Zoom seperti diketahui didirikan oleh Eric Yuan, kini sebagai CEO, adalah orang China.[]