Setahun Internet Padam di Rakhine Myanmar: Terlama di Dunia

Ilustrasi | Foto: freepik.com

Cyberthreat.id – Pemadaman internet di wilayah konflik di bagian barat Myanmar disebut oleh kelompok hak asasi manusia sebagai pemadaman terlama dalam sejarah Myanmar, bahkan di dunia. Pekan ini, pemadaman internet telah memasuki tahun kedua.

Pemerintah Myanmar menutup data internet seluler di sejumlah kota di negara bagian Rakhine dan tetangganya, negara bagian Chin sejak 21 Juni 2019.

Militer Myanmar terlibat dalam perang saudara melawan Tentara Arakan, kelompok pemberontak yang memperjuangan otonomi bagi umat Buddha etnis Rakhine, sejak Januari 2019.

Human Rights Watch (HRW), pada Jumat (19 Juni 2020), menyerukan agar pemerintah segera mengakhiri "pemadaman internet terlama yang diberlakukan pemerintah".

"Sangat penting bagi warga sipil untuk mendapatkan informasi yang diperlukan untuk tetap aman selama pandemi global,” kata Penasihat Hukum HRW Linda Lakhdhir.

Di Myanmar, sejauh ini tercatat 287 kasus Covid-19, dengan jumlah korban meninggal sebanyak enam orang.

Awal Juni lalu, seorang pejabat pemerintah Myanmar yang tak mau disebutkan namanya mengatakan, pemadaman internet akan berlanjut hingga setidaknya 1 Agustus di delapan kota.

Perusahaan telekomunikasi mengatakan pemerintah memerintahkan pemadaman internet untuk mencegah "kegiatan ilegal".


Sumber: Amnesty.org


Konflik telah membuat puluhan ribu warga sipil mengungsi, ratusan lain luka-luka. Baik di kalangan militer maupun Tentara Arakan, korban tewas juga telah terjadi.

Aktivis HAM juga mengutuk pemblokiran beberapa situs media lokal dan mendesak perusahaan telekomunikasi untuk menolak perintah pemerintah tersebut.

Negara bagian Rakhine juga merupakan rumah bagi etnis Rohingya, kelompok minoritas Muslim yang menghadapi penumpasan brutal oleh militer pada 2017.

Sekitar 750.000 orang dari etnis Rohingya telah kabur dari negaranya ke Bangladesh dalam kondisi diintimidasi.

Sementara, 600.000 orang Rohingya yang tersisa di Rakhine hidup dalam kondisi yang disebut Amnesty International sebagai "kondisi apartheid" – dengan kondisi tak ada kebebasan bergerak.

"Kami ingin mengetahui lebih banyak informasi mengenai Covid-19, apa yang terjadi pada orang-orang terlantar di Sittwe (ibu kota Rakhine) dan apa yang terjadi di Bangladesh," ujar Abdullah, seorang warga Rohingya dari kota Mrauk U, kepada AFP melalui telepon seperti dikutip dari Dailymail.co.uk, diakses Minggu (21 Juni).

Abdullah dan warga lain berjuang untuk menghubungi kerabat, mengirimi mereka uang atau bahkan memeriksa ramalan cuaca.

Sementara, Aung Win, guru sekolah di kota Buthidaung, mengatakan, dirinya tidak dapat mengakses pelajaran dari Departemen Pendidikan. Padahal, tahun akademik baru akan dimulai pada Juli mendatang.

"Kami hanya ingin internet kembali sesegera mungkin," kata Aung Win.[]