Infodemic dan Tirani Influencer

Ilustrasi | Foto: Unsplash

TULISAN ini saya buat untuk merespons tentang konten-konten di YouTube dari para selebritas dan influencer (seleb media sosial).

Obrolan mereka dikemas santai dan, bahkan, cenderung sengaja dibikin tampak natural. Konten-konten seperti jual-beli mobil, rumah dan isinya—sehingga muncul sebutan “Sultan A” atau “Sultan B”—atau saling menjahili satu sama lain—yang hanya berputar-putar di kalangan klik mereka, ya semata-mata karena “konten”.

Apalagi kalau bukan demi “trending topic” dan menaikkan viewer semata. Guyonan-guyonan picisan mereka, ironisnya diminati penonton. Saya tidak paham mengapa konten seperti ini begitu trending topic. Yang pasti, penonton kehilangan kuota internet dan tak ada isi yang “bergizi”, sedangkan selebritas dan influencer mendulang pendapatan dari konten-konten itu.

Ada yang lebih menarik untuk kita pikirkan bersama tentang kiprah mereka di kanal-kanal YouTube. Yaitu, pertanggungjawaban etik dan profesional dari setiap konten yang dibuat.

Sah-sah saja semua orang membuat konten. Di era internet, kebebasan adalah keniscayaan. Karena memang begitulah internet diciptakan. Internet menjadi medium untuk pelampiasan terhadap pendapat dan ekspresi yang disumbat oleh sebuah rezim.

Munculnya Facebook, Twitter, TikTok, dan YouTube tak lain juga sebagai katalisator di era saat ini. Semua berubah. Zaman berganti. Mereka-mereka yang selama ini tak bisa bersuara melalui medium arus utama, punya saluran sendiri—tanpa sensor.

Makanya, mereka yang selama ini hanya “terkenal” di saluran televisi, kini memiliki medium katarsis lain. Tak muncul di televisi, ora patheken!—menyitir gaya Pak Harto ketika berhenti dari Presiden RI. Barangkali begitu pula slogan mereka.  

Kebebasan apakah ada batasan?

Jelas. Kebebasan saya atau Anda ada batasannya. Kebebasan saya dibatasi oleh hak asasi orang lain. Saya tak bisa mengatakan: “Hei, cebol!” Meski faktanya dia orang pendek. Hak apa saya memanggil dia dengan sebutan “cebol”?

Dalam kebebasan berinternet saat ini yang lebih utama adalah bahwa setiap apa yang kita ucapkan di saluran media sosial, lebih-lebih soal hal-hal sensitif, harus didukung oleh data dan fakta relevan, bukan konspiratif.

Meski, bisa pula sebuah data, lalu dipaksakan dengan kemampuan buzzer dan mesin algoritma, sehingga fakta-fakta yang ada di internet, hanya satu tipe. Tujuannya satu: memaksakah informasi tunggal. Padahal, bisa saja data itu manipulatif. Inilah yang sering dikenal dengan sebutan “propaganda”.

Dan, para selebritas dan influencer yang jamak dijumpai juga sedang melakukan propaganda itu, baik soal produk karena endorsement (dukungan)—tak lain praktik jualan barang semata—maupun wacana tertentu.

Apakah salah mempropagandakan suatu produk? Boleh. Siapa yang melarang Anda berjualan produk. Toh, persoalan membeli ada di tangan publik.

Hanya, jika menyangkut soal wacana atau isu tertentu yang masih simpang siur, apalagi berbau konspiratif, mengapa harus diterbitkan jika Anda tak mencoba memverifikasi?

Penjajahan era sekarang bukan lagi secara fisik seperti zaman Hindia Belanda, tapi dilakukan secara mental dan pikiran. Penjajahan pola pikir adalah ancaman yang mengkhawatirkan saat ini. Dan, medium internet atau dunia siber inilah yang dipakai oleh kelompok-kelompok tertentu, tak terkecuali oleh lembaga pemerintah dengan dukungan buzzer-nya. Kita ambil contoh, terorisme. Bagaimana kelompok-kelompok radikalisme meminang para anggotanya hanya melalui media sosial.

Salah dalam mengelola pola pikir, Anda bisa-bisa terjerumus dalam situasi yang melanggar hukum atau menyusahkan diri dan keluarga.

Era influencer adalah yang paling disorot saat ini. Kita tahu mereka bisa berbicara apa saja di YouTube dengan acara podcast-nya. Mereka ini juga ingin menjadi bagian dalam pertarungan perebutan informasi yang semakin tak terkendali.

Informasi saat ini sudah seperti air bah. Membanjiri setiap hari di ruang-ruang siber dan ponsel pribadi kita. Setiap orang kini ingin menjadi yang pertama mengabarkan informasi, sayangnya mereka tak paham apa itu informasi yang benar? Apakah suatu insiden di depan mata, lalu divideo dan dikirim ke grup WhatsApp adalah sebuah informasi yang benar, padahal pengirim menyaksikan dengan matanya sendiri? Fakta terkadang masih menyimpan masalah, kecuali jika Anda memverifikasinya kembali. Maka, dalam jurnalistik sering ditekankan: cek, cek, dan cek kembali faktanya.

Lebih-lebih, terkait dengan virus corona (Covid-19). Sebagai selebritas dan influencer, Anda boleh saja membahas soal virus corona. Namun, tentu dalam kapasitas apa dan konteks apa yang ingin Anda bahas? Sebab, orang yang menonton Anda tak semua memahami konteks dan ada pula yang menelan mentah-mentah isi yang disampaikan.

Apalagi, laporan dari Reuters Institute for the Study of Journalism bersama Oxford Internet Institute, pada 7 April 2020, menyebutkan, politisi atas, selebritas, dan tokoh publik terkemuka memiliki “keterlibatan di media sosial terkait informasi yang salah tentang virus corona.” Tokoh publik ini, kata peneliti, termasuk pula influencer.

Contohnya, aktor The Messenger Woody Harrelson yang mengatakan bahwa teknologi jaringan 5G menyebarkan virus corona. Karena ucapannya itu di Instagram, ia dikecam dan akhirnya meminta maaf. Info-info salah mengenai virus corona lebih berbahaya sehingga sering disebut sebagai “infodemic”.

Informasi yang salah lebih menakutkan. Jika kita menerima tentang fakta bahwa virus corona bisa diobati dengan obat herbal, orang akan dengan tenang tidak lagi menjaga jarak, memakai masker, dan tetap berkumpul-kumpul di ruang publik. Padahal, informasi itu belum tentu sahih secara riset medis. Inilah yang dikhawatirkan efek dari konten YouTube dunia Manji yang dikelola penyanyi Anji ketika membahas obat herbal Covid-19. Video Anji kemudian memicu pelaporan polisi oleh Cyber Indonesia ke Polda Metro Jaya. (Baca: Dugaan Hoaks Obat Covid-19, Cyber Indonesia Laporkan Anji dan Hadi Pranoto ke Polisi)

Memang, pandemi Covid-19 membuat seluruh sektor kocar-kacir. Pendapatan individu dan perusahaan turun. Ekonomi benar-benar megap-megap. Ini yang membuat tiap orang berpikir pendek. Kondisi psikologis yang syok karena beban hidup, ditambah kondisi wabah tak kunjung kapan berakhir, berbagai umpatan dan caci maki terhadap Covid-19 lebih mudah diutarakan.

Teori-teori spekulasi bermunculan. Sekiranya masuk akal, lalu teori itu dianggap sebagai sebuah kebenaran. Ini yang sedang terjadi di sebagian masyarakat kita. Pertarungan perebutan informasi ini dipertontonkan antara musisi Jerinx di Instagram-nya. Jerinx bertengkar dengan dr. Tirta, influencer yang berpendapat bahwa Covid-19 itu benar-benar nyata ada. Sementara, Jerinx menganggap bahwa Covid-19 hanyalah hal yang dibuat-buat. Sayangnya, keduanya bukan berdiskusi dalam hal yang baik, justru cenderung saling memaki dan bertengkar mulut.

Lalu, follower-follower mereka juga saling membantu mencaci maki. Kegaduhan-kegaduhan yang tidak seharusnya terjadi. Dengan kejadian itu, teori konspirasi setidaknya telah menunjukkan kepada kita bahwa bukan kebenaran yang didapat publik dari influencer-nya, justru pertengkaran yang diterima. Untuk apa itu semua?

Selain influencer dan selebritas, ada sejumlah tipikal orang-orang yang suka menyebarkan informasi salah.

Anda tahu Joker? Musuh Batman ini digambarkan sebagai simbol kekacauan dan melawan segala aturan-aturan yang ada. Kejam dan bengis sebagai kehumoran bagi dirinya. Nah, di media sosial, tipikal warganet sebagai “joker” ini juga ada. Mereka bukan siapa-siapa, dia hanya melempar saja konten-konten sebagai candaan dan humor belaka, padahal isinya adalah bohong. Menyesatkan dan memicu kekacauan di ruang publik nyata

Ada pula, buzzer politik. Mereka ini bayaran. Tugasnnya memang menyebarkan isu politik sesuai pesanan politikus atau simpatisan partai politik. Konten tak perlu dipikirkan oleh mereka, tugas mereka hanya menyebarkan. Yang penting dapat uang.

Lalu, politisi itu sendiri. Informasi salah seringkali juga datang dari politisi juga pejabat pemerintah. Hanya, demi kepentingan politik, mereka berkomentar yang tidak tepat. Atau, membeberkan data-data yang sebetulnya manipulatif.

Kelima, orang-orang dekat sendiri. Terkadang, kita terlalu percaya dengan informasi dari orang-orang dekat di sekitar kita. Karena rasa ewuh pakewuh, kita percaya saja dengan informasi itu. Padahal, informasi itu belum tentu benar adanya. Validitasnya belum terkonfirmasi. Ini juga berbahaya.

Dan, terakhir peretas atau penjahat siber, mereka ini jelas termotivasi oleh keuntungan finansial belaka. Menggunakan topik yang sedang hot atau populer di masyarakat, mereka menipu dan menjebak seseorang untuk percaya dengan yang dikirimnya. Misal, sebuah email phishing tentang vaksin virus corona dengam berkedok dari lembaga kesehatan sah atau WHO. Di masa-masa begini, informasi tentang virus corona yang dikira masuk akal bisa dipercaya begitu saja. Padahal, informasi itu palsu. Bisa pula, peretas mengirimkan email ke korban tentang kompensasi cicilan rumah karena imbas pandemi. Sayangnya, itu bukan datang dari Bank BTN, misalnya, sebaga penyedia KPR. Ujung-ujungnya, mereka diminta transfer uang.

Tipikal mereka itulah yang seringkali menjadi penyebar “infodemic”.

Saya pikir sudah saatnya ada kode etik bagi selebritas dan influencer untuk membuat konten di YouTube. Konten-konten seperti apa yang seyogianya tidak menyimpang dari ranah kerjanya.Lebih baik mereka konsentrasi saja pada bidangnya, tanpa perlu menyinggung politik atau isu tertentu yang bukan keahliannya.

Jika mereka ingin sebagai pewawancara layaknya jurnalis di media massa, maka buat saja media massa sendiri dan tentu saja, terapkanlah kode etik jurnalistik. Karena, itulah yang membedakan influencer dengan jurnalis.

Saya khawatir jika influencer dan selebritas terlalu bebas berbicara tanpa didasari data-data relevan, yang kita hadapi kemudian adalah sebuah tirani baru. Menggunakan kebebasan internet dan kepopulerannya (bisa kita sebut sebagai kekuasaan) untuk menyebarkan informasi yang keliru. Ya, tirani influencer adalah sangat nyata di era siber ini. Sekian.

Penulis adalah wartawan Cyberthreat.id. Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis.